PENTING !

Harry Benjamin's Syndrome sesuai dengan peraturan standar internasional, harus dinyatakan oleh 2 orang psikiater atau 1 orang psikiater dengan 1 orang dokter. Tidak ada Jalan Pintas dalam berjalan dengan Harry Benjamin's Syndrome. Untuk bergabung dengan Support Grup dan mengetahui para ahli-ahli medis yang kami rekomendasikan, anda dapat menghubungi kami lewat Email : HBS.Indonesia@gmail.com.

Senin, 23 Januari 2012

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Harry Benjamin's Syndrome (2)

        6. Tanya: Sebetulnya, apakah kondisi Harry Benjamin’s Syndrome (HBS) itu? Saya merasa sangat tidak nyaman dan jengkel karena banyak orang selalu mengatai saya adalah seorang homoseks/lesbian padahal saya bukanlah apa yang mereka tuduhkan. Ini betul-betul membuat saya marah dan frustrasi.

      Jawab:  Dulu (dan bahkan hingga sekarang), kondisi Harry Benjamin’s Syndrome/HBS  lebih banyak  dikenal orang sebagai kondisi “Transseksual”. Secara tidak tepat, kalangan medis-klinis-psikiatris menggunakan DSM 1V/ICD-10 (yang dikeluarkan oleh Asosiasi Psikolog Amerika [APA = the American Psychological Association] serta digunakan secara internasional) sebagai acuan dan menyebut kondisi transseksual dengan istilah “Gender Identity Disorder (GID).” Bahkan, di Indonesia, kebanyakan dokter jiwa dan psikolog masih menggunakan acuan DSM III yang menyebutnya dengan “Gender Dysphoria.” Sementara itu, lebih ironis lagi, Departemen Sosial dan sebagian dokter malah menyebut kondisi ini sebagai “penyakit mental.”

 Kembali kepada istilah Harry Benjamin’s Syndrome, nama Harry Benjamin diambil dari nama Dokter Harry Benjamin (1885–1986), dokter yang pertama kali  memelopori, meneliti dan menangani kasus Transseksual, yang pertamakali memperkenalkan istilah Transseksual (1954) serta menerbitkan buku The Transsexual Phenomenon (1966).  

 Kondisi HBS sesungguhnya adalah kondisi Anomali Otak di mana terjadi ketidak-sinkronan antara volume sub-bagian tengah dari “the bed nucleus of the stria terminalis”/BSTc (bagian otak yang sangat penting dalam pembentukan perilaku seksual manusia) dengan ketubuhan/fisik seseorang. Ukuran BSTc tidak dipengaruhi oleh hormon seks ataupun kromosom seks, dan BSTc ini juga tidak terpengaruh oleh orientasi seks. Seorang perempuan yang terlahir dengan kondisi HBS (MtF = Male-to-Female) mempunyai ukuran BSTc yang sama atau hampir sama dengan ukuran BSTc perempuan berkromosom 46 XX. Sebaliknya, ukuran BSTc seorang laki-laki dengan HBS (FtM = Female-to-Male) sama atau hampir sama dengan ukuran BSTc lelaki berkromosom 46 XY. [J.N. Zhou, L.J.G. Gooren, M.A. Hofman, Dick F. Swaab. A Sex Difference in the Human Brain and Its Relation to Transsexuality. NATURE, 378: 68-70. 1995.]

7. Tanya: Lalu, apa bedanya HBS dengan homoseksual/lesbian?

Jumat, 13 Januari 2012

Selamat datang

Hingga saat ini orang dengan Harry Benjamin’s Syndrome seakan-akan tertutupi, bahkan hampir 99% masyarakat awam, medis, gerakan-gerakan perempuan hingga gerakan LGBTIQ sendiri tidak mengetahui dan memahami tentang Harry Benjamin’s Syndrome.

Harry  Benjamin’s Syndrome pada dasarnya adalah Anomali Otak dan masuk ke dalam bagian Intersex, bersama dengan Klinelfelter Syndrome dan Turner Syndrome. HBS ada pada 1 di antara 500 orang, lebih banyak 2x daripada Klinelfelter Syndrome, 5x lebih banyak daripada Turner Syndrome dan 25x lebih banyak daripada Androgen Insensitivity Syndrome (AIS).

Blog Harry Benjamin’s Syndrome ini dibuat untuk menjawab dan meluruskan kesimpang-siuran fakta-fakta yang terpelintir di dalam masyarakat maupun di dalam gerakan LGBTIQ.

Blog ini merupakan sebuah ruang bagi orang dengan Harry Benjamin’s Syndrome untuk memperlihatkan “Visibility”-nya kepada masyarakat dan sebagai Media Kampanye dalam menjawab semua pertanyaan-pertanyaan maupun mengubah paradigma yang salah.

Blog ini menyediakan informasi tentang Harry Benjamin’s Syndrome dari sisi Female to Male (FtM) serta Male to Female (MtF) dari Informasi dasar tentang Definisi, Standar Medical Care (Perawatan Medis), Support Group, Rekomendasi Tenaga Medis professional, Informasi keterangan jenis-jenis obat hormon, hingga studi serta analisis Kasus-kasus Hukum di Indonesia yang berkaitan dengan Intersex, Harry Benjamin’s Syndrome dan sindroma lainnya.

Kami akui, untuk permulaan blog ini belum sempurna, tapi akan terus kami update informasi-informasi yang ada supaya lengkap. Silakan kirim saran dan pertanyaan Anda kepada kami lewat E-mail karena saran Anda adalah masukan yang berharga bagi kami.

Selamat membaca. 

Selasa, 10 Januari 2012

Harry Benjamin’s Syndrome (Sindroma Harry Benjamin)

Apakah Harry Benjamin’s Syndrome itu?
Harry Benjamin’s Syndrome (HBS) adalah kondisi intersex bawaan yang berkembang sebelum kelahiran yang menyangkut pembedaan antara lelaki dan perempuan. Diyakini bahwa 1 di antara 500 bayi terlahir dengan kondisi ini. Artinya, seorang anak perempuan dengan Harry Benjamin’s Syndrome memiliki “brain sex” perempuan tetapi alat kelaminnya tampak sebagai alat kelamin laki-laki. Sebaliknya, anak lelaki yang terlahir dengan kondisi ini memiliki “brain sex” laki-laki meskipun genitalianya perempuan. Selama ini, masih belum dimungkinkan untuk mendiagnosa kondisi ini pada saat kelahiran sehingga hal ini menyebabkan bayi-bayi dengan kondisi ini dibesarkan dan dididik dengan peran gender yang keliru.
Jelaslah sekarang bahwa otaklah satu-satunya bagian tubuh yang dapat mendefinisikan jenis kelamin seseorang; sehingga, jenis kelamin seseorang yang sesungguhnya ditentukan oleh struktur otaknya dan bukan oleh alat kelaminnya. Oleh karena itu, identitas gender sudah terikat kuat di dalam otak dan di dalam struktur CNS yang lebih dalam. Perbedaan utama antara Harry Benjamin’s Syndrome dan kondisi-kondisi intersex lainnya terletak pada tak adanya bukti fisik pada saat bayi dilahirkan sehingga hal ini menyulitkan para dokter untuk mendiagnosanya. 
Dibandingkan dengan kondisi-kondisi intersex lainnya, Harry Benjamin’s Syndrome 2 (dua) kali lebih sering muncul daripada Klinefelter Syndrome dan 5 (lima) kali lebih sering daripada Turner’s Syndrome. Juga diketahui bahwa kasus ini 25 kali lebih banyak daripada Androgen Insensitivity Syndrome (AIS = Sindroma Ketidaksensitivan Androgen).

Dari Transseksualisme ke Harry Benjamin’s Syndrome


Istilah transseksualisme pertama kali diperkenalkan di kalangan kedokteran pada tahun 1950-an oleh Dokter Harry Benjamin, seorang pelopor dalam riset mengenai kondisi ini, yang mendukung penjelasan biologis walaupun terdapat kesulitan dalam menemukannya. Pada masa-masa itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk membedakan kondisi ini dari transvestisme dan homoseksualisme. Istilah transseksualisme tampaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diberikan dalam kegelapan ilmiah tak terusik di sekeliling kondisi ini, dan kemudian mereka mulai mempercakapkan trasseksual untuk pertama kalinya. 

Di luar itu, Transseksualisme saat itu dipandang sebagai kondisi psikiatris di mana seseorang merasa bahwa dirinya memiliki jenis kelamin sebaliknya. Kondisi ini pada masa itu tampak sebagai kondisi psikologis belaka atau malahan “tak terjelaskan”. (Lihat contoh karya Caulwell: Psychopatia Transexualis, 1949)


Namun demikian. Setelah riset yang lebih mendalam dilakukan pada dua dekade terakhir ini tentang kondisi tadi, ditemukan bahwa ini bukanlah kondisi yang berbasis psikologis sehingga dewasa ini istilah transseksualisme bahkan telah jadi usang dan tak cukup lagi untuk menggambarkannya.

Dewasa ini kita mengerti bahwa apa yang dahulu dikenal sebagai transseksualisme sebetulnya bukanlah kondisi psikologis melainkan hal tersebut berhubungan erat dengan pola neurologis atau syaraf. Kaum transseksual atau orang-orang yang terlahir dengan Harry Benjamin’s Syndrome sudah memiliki otak yang selalu menentukan bagaimana atau di mana seharusnya jenis kelamin mereka. Penelitian-penelitian mutakhir juga menunjukkan bahwa jenis kelamin otak adalah apa yang menentukan jenis kelamin seseorang yang sesungguhnya; sehingga seseorang yang dilahirkan dengan kondisi Harry Benjamin’s Syndrome memang sudah merupakan anggota dari “jenis kelamin kebalikan”-nya. Isitlah transseksualime kemudian menjadi usang karena tak ada perubahan kelamin akan tetapi yang dilakukan justru operasi korektif. Mereka yang terlahir dengan Harry Benjamin’s Syndrome secara biologis sudah merupakan bagian dari jenis kelamin yang mereka rasakan karena “brain sex” dan struktur syaraf neurologis mereka sudah cocok dengan identitas gender mereka. Apa yang terjadi adalah bahwa pola-pola neurologis otak mereka merupakan kebalikan dari alat kelamin mereka. (Lihat Dokumnetasi Medis terkait).

Masalah Peristilahan (Kesalahan Pemahaman)

Peristilahan mungkin merupakan masalah terbesar yang perlu segera diatasi oleh orang-orang yang terlahir dengan kondisi Harry Benjamin’s Syndrome sebagai sebuah kelompok.  Ini tentang identitas kelompok kita, tentang Siapa diri kita, Bagaimana kita menyebut diri kita, Bagaimana kita menganggap diri kita dan Bagaimana kita memperkenalkan diri kita kepada orang lain; sebab untuk mencapai asimilasi sosial sepenuhnya, pertama-tama kita perlu menegaskan identitas kita sebagai sebuah kelompok dan melakukannya.  Dan peristilahan adalah faktor kunci yang menentukan. Dewasa ini terlalu banyak istilah yang tidak tepat digunakan untuk menunjuk kondisi ini maupun menunjuk orang-orang yang menderita karenanya.  Meski tampaknya istilah-istilah tersebut benar di masa lampau, sebetulnya istilah-istilah tadi sudah using di masa kini. Sekarang ini orang hanya memilih sebuah istilah yang lebih mereka sukai untuk digunakan di saat yang diberikan, atau bahkan seluruh jenis media massa menggunakan beberapa istilah berbeda secara serentak sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa artikel atau publikasi berbeda terkait dengan Harry Benjamin’s Syndrome. Ini bukanlah hal yang serius dan tak terfokus pada semua kondisi, juga tak terjadi terhadap kondisi medis lainnya.  Namun demikian, istilah-istilah yang saat ini digunakan sungguh-sungguh tidak tepat dan berbahaya.


Harry Benjamin Syndrome sebagai Kondisi Interseks


Harry Benjamin's Syndrome secara neurologis merupakan kondisi interseks. Perbedaannya dengan kondisi-kondisi interseks yang lain seperti Turner's Syndrome, Klinefelter's Syndrome, Kuster Hauser's Syndrome, dan lain-lain, adalah bahwa Harry Benjamin’s Syndrome dapat lolos tanpa ketahuan selama bertahun-tahun dan kemudian akan tampak tiba-tiba muncul pada masa dewasa. Kita patut berterima kasih kepada para ilmuwan yang telah mengadakan banyak penelitian tentang kondisi ini selama beberapa dasawarsa terakhir sehingga Harry Benjamin’s Syndrome mulai diletakkan pada tempatnya yang benar: yaitu sebagai suatu kondisi interseks di antara kondisi-kondisi interseks lainnya, dan bukan di antara sakit/kekacauan mental.

Dokter ahli endokrin Louis Gooren mengatakan tentang penemuan-penemuan terakhir mengenai otak yang diselenggarakan di Institut Penelitian Otak Belanda pada tahun 1995 (Zhou dkk) dan kemudian menegaskannya pada tahun 2000 dalam penelitian yang lain (Kruijver dkk) sebagai berikut :

“Penemuan-penemuan terakhir tentang proses pembedaan seksual dalam otak yang dialami oleh mereka yang terlahir sebagai transseksual dapat membuka wawasan untuk melihat kondisi ini dengan cara yang berbeda dari apa yang selama ini kita lakukan. Pertama, dari pandangan kedokteran, transseksual dapat dikembalikan/direhabilitasi kepada jenis kelamin mereka yang sesungguhnya dan tidak dipandang sebagai orang-orang dengan gangguan mental. Kedua, asuransi atau uang jaminan medis wajib diberikan kepada penderitanya untuk membayar seluruh biaya medis operasi penegasan kelamin sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus interseks lainnya. Sistem hukum dan peradilan wajib memperlakukan para penderita transseksual dengan cara yang sama sebagaimana mereka memperlakukan orang-orang dengan kondisi interseks lainnya.  Dengan demikian, masyarakat diharapkan akan mengubah perilaku mereka terhadap mereka yang terlahir dengan kondisi transseksual bahkan lembaga-lembaga keagamaan akan berhenti memandangnya sebagai dosa.  Akibat menakjubkan dari “pembiologian” kasus transseksual yang akan terjadi dalam seluruh ranah Kehidupan amatlah sangat sulit untuk dinilai dengan apapun.”

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Harry Benjamin's Syndrome (1)

 1. Tanya: Saya bingung dan sangat menderita, apakah saya laki-laki atau perempuan? Tubuh saya memiliki ciri-ciri tubuh lelaki/perempuan tetapi saya yakin sejak kecil bahwa saya adalah perempuan/laki-laki. Jadi, sebetulnya saya ini laki-laki atau perempuan?

          Jawab: Kemungkinan besar Anda adalah seseorang yang dilahirkan dengan kondisi transseksual atau yang saat ini disebut Harry Benjamin’s Syndrome.






2. Tanya: Bagaimana caranya agar saya tahu bahwa saya mengidap Harry Benjamin’s Syndrome?


  Jawab: Pertama-tama, Anda harus datang dan berkonsultasi kepada seorang psikiater untuk memastikan apakah kondisi Anda adalah Harry Benjamin’s Syndrome atau bukan. Psikiater akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali lebih dalam tentang apa yang Anda alami. 

3. Tanya: Apakah saya gila sehingga harus datang dan berkonsultasi kepada psikiater? Setahu saya, psikiater adalah dokter ahli jiwa yang menangani pasien-pasien sakit jiwa.

Jawab: Jangan khawatir, Anda waras dan baik-baik saja. Konsultasi dengan psikiater dibutuhkan justru untuk melihat apakah Anda mengidap Schyzophrenia (kegilaan) dan/atau gangguan mental lain yang lebih ringan seperti psikosis dan neurosis; ataukah Anda sebetulnya mengalami kondisi Harry Benjamin’s Syndrome.

Kamis, 05 Januari 2012

Posisi Harry Benjamin’s Syndrome di Dalam Gerakan LGBTIQ


Seperti kita ketahui, Harry Benjamin’s Syndrome (HBS) masuk ke dalam bagian/kategori Intersex dan Intersex masuk ke dalam bagian gerakan LGBTIQ. Namun ada kekhawatiran di kalangan teman-teman interseks terhadap fenomena gerakan LGBTIQ yang mengadopsi “I.” Jadi, sebenarnya, mau dibawa kemana posisi “I” di dalam gerakan LGBTIQ?

Pertama, kekawatiran bahwa dengan menambahkan "I" akan memberikan kesan yang salah bahwa semua atau kebanyakan orang interseks adalah lesbian, gay, biseksual, dan/atau transgender. Dapat dibayangkan situasi ketika orang tua yang mempunyai anak dengan kondisi Intersex akan langsung berpandangan bahwa anaknya “terlahir HOMO” bukan “terlahir INTERSEX”. Maka ini akan menyebabkan sebuah persepsi salah yang mungkin mendorong orang tua untuk menuntut “menormalisasikan ke-homo-an” anaknya.

Rabu, 04 Januari 2012

Transseksual di Tengah Masyarakat: Potret Ketidak-adilan Gender

The picture of me, the me that is seen is me.
If I could not be, I would not be.
                                                 - D.H. Lawrence

PENDAHULUAN


Menonton Boys don’t Cry (yang ramai dibicarakan orang lewat ulasan-ulasan media cetak pada masanya) membuat saya tercenung dan langsung teringat peristiwa tragis yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah sekitar tiga bulan sebelum film tersebut diputar: Seorang “banci perempuan” (Female-to-Male Transsexual, sering disebut juga FtM) tewas akibat dikeroyok dan digebuki massa gara-gara menikahi seorang perempuan tulen (baca: heteroseksual, bukan lesbian). Beberapa koran daerah gencar memberitakan kejadian tersebut sampai berhari-hari. Bahkan, terkesan hal memilukan itu justru
dijadikan komoditas murahan yang sensasional untuk mengkili-kili rasa penasaran pembaca, tanpa memperhatikan dampak psikologis yang akan ditanggung oleh keluarga korban.


Kedua hal di atas –film Boys don’t Cry dan tewasnya seorang FtM akibat pelampiasan kebencian berdalih “kenormalan”- memang sengaja saya angkat sebagai contoh konkrit untuk lebih membuka mata-hati kita terhadap masalah-masalah sosial laten yang sesungguhnya ada di sekitar kita. Di tengah maraknya diskusi-diskusi tentang perspektif gender dan tindakan pemberdayaan perempuan, yang notabene demi kesetaraan hak lelaki dan perempuan, sebetulnya sedang dan selalu terjadi bentuk penindasan lain yang tidak kalah dahsyatnya terhadap kaum “sexually marginalized.” Sadar atau tidak, masyarakat sering secara arogan menghakimi kelompok transseksual ini dengan tindakan-tindakan tidak manusiawi dan “menajiskan” mereka karena dianggap sampah atau “abnormal.” Mereka tersisih dan/atau sengaja dipinggirkan.




Dalam hiruk-pikuk wacana demokratisasi, pembelaan HAM, reformasi dan serangkaian “tujuan mulia” lainnya, kelompok ini luput –atau memang sengaja diluputkan- dari perhatian kita. Mereka tidak berani mengaktualisasikan diri dan pasrah terhadap nasib tanpa ada LSM yang secara khusus, ilmiah dan sistematis dalam pengorganisasian bersedia bersinergi dengan para profesional medik/ klinik/ psikiatrik/ psikologik mendampingi ataupun memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini jelas menunjukkan ironisme besar dalam tatanan sosial kita sebagai masyarakat manusia. Sesumbar yang diteriakkan oleh sebagian pejuang HAM dan aktivis kesetaraan gender jadi melempem dan memble sama sekali tak terdengar gaungnya menyangkut eksistensi kelompok transseksual yang lebih sering dilecehkan (dan kemudian juga terprovokasi untuk melecehkan diri-sendiri) dengan sebutan bencong atau waria ini.