Terapi hormon lintas-seks risiko-risiko
yang sama dengan terapi sulih hormon seks terhadap lelaki dan perempuan
biologis/genetic. Risiko terapi hormon seks meningkat dan diperburuk oleh
penggunaan hormon seks secara gegabah dan disengaja dengan dosis
berlebihan ataupun kurang untuk menjaga fisiologi normal (81, 89)
Rekomendasi
Kami menyarankan pemantauan laboratorium
dan klinis secara reguler setiap 3 bulan selama tahun pertama dan kemudian
sekali atau dua kali setiap tahunnya.
Bukti
Pemeriksaan sebelum perawatan dan
pemantauan medis reguler yang tepat direkmomendasikan baik bagi FTM maupun bagi
MTF selama masa transisi endokrin dan secara berkala setelahnya (13, 97).
Pemantauan berat badan dan tekanan darah, uji fisik yang ditentukan,
pertanyaan-pertanyaan rutin seputar kesehatan sehubungan dengan faktor-faktor
risiko dan pengobatannya, pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal dan hati,
metabolisme lemak dan gula darah sebaiknya dilakukan.
Individu Transseksual FTM
Rancangan pemantauan standard bagi
individu yang menjalani terapi testosteron dapat dilihat pada Tabel 15. Hal-hal
terpenting untuk ini termasuk menjaga kadar testosteron dalam rentang normal
laki-laki dan menghindari akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan oleh
terapi testosteron bertahun-tahun, erythrocytosis umum, disfungsi hati,
hipertensi, kegemukan, retensi garam, perubahan kadar lemak darah, tumbuhnya
jerawat yang eksesif, serta perubahan-perubahan psikologis yang merugikan (85).
Karena testosteron 17-yang teralkilasi tidak direkomendasikan, keracunan hati
serius juga tidak diantisipasi dengan penggunaan testosteron parenteral ataupun
transdermal (98, 99). Namun tetap saja pemantauan berkala harus dilakukan
karena sampai 15% FTM yang dirawat dengan testosteron mengalami kenaikan
sementara dalam enzym hati mereka (93).
Individu Transseksual MTF
Rencana pemantauan standard bagi individu
yang menggunakan esgtrogen, penekanan gonadotropin ataupun anti-androgen dapat
dilihat pada table 16. Pokok-pokoknya adalah menghindari dosis suprafisiologis
atau kadar estrogen darah yang bisa mengarah kepada penyakit thromboemboli,
gagalnya fungsi hati dan peningkatan hipertensi.
TABLE 15. Pemantauan transseksual MTF yang menjalani terapi sulih
hormon
|
1. Mengevaluasi
pasien setiap 2–3 bulan pada tahun pertama, kemudian 1–2 kali per tahun untuk
memantau tanda- tanda feminisasi yang penting serta perkembangan reaksi yang
merugikan.
|
2. Mengukur serum testosteron dan estradiol setiap 3
bulan:
|
a. Kadar serum testosteron harus
<55 ng/dl.
|
b. Serum estradiol tidak boleh
melebihi rentang fisiologis puncak bagi perempuan muda yang sehat, dengan
kadar ideal 200 pg/ml.
|
c. Dosis estrogen harus
disesuaikan dengan kadar serum estradiol.
|
3. Bagi yang menggunakan
spironolactone, serum elektrolit khususnya potassium harus dipantau setiap
2–3 bulan yang diawali pada tahun pertama.
|
4. Pemeriksaan kanker rutin
seperti yang dilakukan bagi individu-individu non-transseksual (misalnya:
payudara, usus besar, prostat).
|
5. Mempertimbangkan uji BMD sesuai
standar jika terdapat faktor risiko bagi timbulnya osteoporosis (misalnya:
patah tulang yang pernah timbul, sejarah keluarga, penggunaan glukokortikoid,
hypogonadal yang telah lama terjadi). Bagi yang memiliki risiko rendah,
pemeriksaan osteoprorosis harus dilakukan pada usia 60 atau bagi mereka yang
tidak cocok dengan terapi hormon.
|
TABLE 16. Pemantauan transseksual FTM yang menjalani terapi sulih
hormon
|
1. Mengevaluasi pasien setiap 2–3
bulan pada tahun pertama, kemudian 1–2 kali per tahun untuk memantau
tanda-tanda kejantanan yang penting serta perkembangan reaksi-reaksi yang
merugikan.
|
2. Mengukur serum testosteron setiap 2–3 bulan
hingga kadarnya berada pada rentang fisiologis normal lelaki:*
|
a. Untuk injeksi testosteron
enanthate/cypionate, kadar testosteron harus diukur di tengah-tengah antara
dua injeksi. Jika kadarnya >700 ng/dl atau <350 ng/dl, dosis
pemakaiannya harus disesuaikan dengan kadar tersebut.
|
b. Untuk pemakaian testosteron
undecanoate secara parenteral, kadar testosteron harus diukur tepat sebelum
injeksi berikutnya.
|
c. Untuk pemakaian testosteron
secara transdermal, kadar testosteron dapat diukur kapan saja setelah 1
minggu.
|
d. Untuk pemakaian testosteron
undecanoate secara oral, kadar testosteron harus diukur 3–5 jam setelah
asupan (setelah ditelan).
|
e. Catatan: Selama 3–9 bulan
pertama perawatan testosteron, kadar testosteron total mungkin tinggi
walaupun kadar testosteron bebasnya normal sesuai dengan kadar globulin yang
terikat dalam hormon seks yang tinggi pada beberapa perempuan genetik.
|
3. Mengukur kadar estradiol
selama 6 bulan pertama dari perawatan testosteron hingga berhentinya
menstruasi. Kadar estradiol harus <50 pg/ml.
|
4. Mengukur pemeriksaan CBC
dan fungsi hati sesuai standar serta setiap 3 bulan pada tahun pertama,
kemudian 1–2 kali setahun. Memantau berat badan, tekanan darah, profil lemak,
gula darah setelah puasa (jika terdapat sejarah diabetes dalam keluarga) dan hemoglobin
A1c (jika menderita diabetes) pada saat kunjungan berkala.
|
5. Mempertimbangkan uji BMD sesuai
standar jika terdapat faktor-faktor risiko bagi timbulnya patahan
osteoporosis (misalnya: patah tulang yang pernah timbul, sejarah keluarga,
penggunaan glukokortikoid, hypogonadal yang telah lama terjadi). Bagi yang
memiliki risiko rendah, pemeriksaan osteoprorosis harus dilakukan pada usia
60 atau bagi mereka yang tidak cocok dengan terapi hormon.
|
6. Jika terdapat jaringan serviks,
pemeriksaan pap smear tahunan sangat direkomendasikan pelaksanaannya oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (Akademi Ahli Kebidanan
dan Kandungan Amerika).
|
7.Jika mastektomi tidak dilakukan,
harus dipertimbangkan dilaksanakannya mammogram sebagaimana yang
direkomendasikan oleh American Cancer Society (Masyarakat
Kanker Amerika).
|
* Diadaptasi dari Ref. 83, 85
|
Rekomendasi
Kami menyarankan dilakukannya pemantauan
kadar prolaktin terhadap individu transseksual MTF yang menjalani terapi
estrogen. BuktiTerapi estrogen dapat meningkatkan pertumbuhan
sel-sel “lactotroph” pituitary. Sudah ada beberapa laporan tentang kasus
prolactinoma yang terjadi setelah terapi estrogen dalam jangka panjang
(100–102).
Hingga 20% perempuan transseksual yang
menjalani perawatan estrogen mungkin memiliki peningkatan kadar prolactin yang
berhubungan dengan pembesaran kelenjar pituitary (103). Dalam kebanyakan kasus,
kadar serum prolactin akan kembali ke rentang normal dengan pengurangan dosis
atau penghentian terapi estrogen (104). Awal dan rangkaian waktu terjadinya
hyperprolactinemia selama perawatan estrogen belum diketahui. Kadar prolactin
sebaiknya diperoleh di saat awal dan kemudian setidaknya setiap tahun selama
masa transisi serta selanjutnya setiap dua tahun sekali.
Namun demikian, dengan adanya fakta bahwa
kasus prolactinoma yang dilaporkan hanya sedikit sekali dan tidak dilaporkan
dalam kelompok besar individu-individu yang menjalani perawatan estrogen,
risiko terjadinya prolactinoma kemungkinannya kecil sekali. Karena tidak banyak
ditemukannya kasus mikro-prolactinoma (berupa kasus hypogonadisme dan
kadang-kadang gynecomastia) pada transseksual MTF, uji radiologi untuk
pituitary mungkin hanya dilakukan kepada mereka yang kadar prolactinnya naik
terus-menerus walaupun kadar estrogennya stabil atau sudah dikurangi.
Dan oleh karena orang-orang dengan kondisi
transseksual ini didiagnosa serta dipantau secara menyeluruh hingga operasi
penegasan kelamin mereka oleh psikiater, bisa saja terjadi beberapa dari mereka
menerima pengobatan psikotropik yang dapat meningkatkan kadar prolactinnya.
Rekomendasi.
Kami menyarankan agar individu-individu
transseksual yang menjalani perawatan dengan hormon diberi evaluasi
kesehatannya untuk melihat ada/tidaknya faktor risiko pembuluh darah
jantung.
Fakta Individu transseksual FTM
Penggunaan testosterone bagi transseksual
FTM akan berakibat pada profil lemak “atherogenic” dengan kadar kolesterol HDL
menurun dan triglyceride meninggi (21, 105–107). Penelitian-penelitian tentang
efek testosteron terhadap sensitivitas insulin memberikan hasil
yang bercampur.
Penelitian terbaru terkait keamanan yang
dilakukan secara acak, terbuka dan tak terkontrol terhadap transseksual FTM
yang dirawat dengan testosteron undecanoate menunjukkan tak adanya resistensi
setelah 1 tahun (109). Banyak penelitian telah dilakukan dan menunjukkan efek
penggunaan hormone lintas-seks terhadap sistem pembuluh darah jantung (107,
110–112). Penelitian jangka panjang dari Belanda tidak menemukan peningkatan
risiko terhadap kematian akibat pembuluh darah jantung (93).
Demikian pula, meta-analisa dari 19
percobaan yang dilakukan secara acak terhadap laki-laki yang menjalani terapi
sulih hormon testosteron menunjukkan tidak adanya insiden peningkatan kasus
pembuluh darah jantung (113). Kajian literatur sistematis mendapati bahwa tidak
cukup data yang ada –terkait dengan sangat rendahnya kualitas fakta- untuk
melakukan penilaian yang berguna bagi pasien sehingga diperoleh
penemuan-penemuan penting seperti kematian, stroke, “MI”, ataupun
kasus thromboemboli pembuluh vena di antara individu-individu transseksual FTM
(21).
Di masa mendatang, dibutuhkan riset untuk
memastikan apakah ada bahaya yang ditimbulkan oleh terapi hormon (21).
Faktor-faktor risiko pembuluh jantung sebaiknya dikelola begitu timbul sesuai
dengan panduan yang telah dibuat (114).
Transseksual MTF
Penelitian prospektif terhadap subjek MTF
menemukan perubahan-perubahan yang menguntungkan dalam parameter profil lemak
dengan konsentrasi peningkatan HDL dan penurunan LDL (106). Namun demikian,
perubahan profil lemak yang menguntungkan ini dilemahkan dengan naiknya berat
badan, tekanan darah, dan tanda-tanda resistensi insulin.
Kelompok terbesar subjek MTF (dengan usia
rata-rata 41 tahun) yang diteliti selama 10 tahun tidak menunjukkan adanya
peningkatan kematian yang disebabkan oleh pembuluh darah jantung walaupun 32%
dari mereka adalah perokok (93). Jadi, ada fakta terbatas untuk menentukan
apakah estrogen bersifat melindungi atau merusak di kalangan transseksual MTF
(21).
Dengan bertambahnya umur, biasanya
terdapat peningkatan berat badan sehingga –sebagaimana yang terjadi pada
individu-individu non-transseksual- metabolism glukosa dan lemak serta tekanan
darah harus dipantau secara reguler dan dikelola sesuai petunjuk yang dibuat
(114).
Rekomendasi
Kami meyarankan agar pengukuran kepadatan
mineral tulang dilakukan jika terdapat faktor-faktor risiko terjadinya
osteoporosis, khususnya di antara mereka yang menghentikan terapi hormon
setelah gonadectomy (operasi pengangkatan organ dalam).
FaktaTransseksual FTM
Dosis testosteron yang cukup penting untuk
menjaga massa tulang pada individu-individu FTM (115, 116). Dalam sebuah
penelitian (116), kadar serum LH secara terbalik dihubungkan dengan kepadatan
mineral tulang, memberi kesan bahwa kadar hormon seks yang rendah berhubungan
dengan mengeroposnya tulang.
Jadi, kadar LH mungkin berfungsi sebagai
indicator asupan hormon seks steroid yang memadai untuk mempertahankan massa
tulang. Efek perlindungan testosteron mungkin diditengahi oleh konversi periferal
terhadap estradiol dalam tulang baik secara sistematik maupun secara lokal.
Transseksual MTF
Penelitian-penelitian terhadap
individu-individu lelaki genetik yang menua menunjukkan bahwa serum estradiol
secara lebih psoitif berkorelasi dengan BMD daripada dengan testosteron
(117–119) dan lebih penting bagi kepadatan massa tulang (120). Estrogen
melindungi BMD bagi transseksual MTF yang melanjutkan terapi estrogen dan
anti-androgen (116, 121, 122). Tidak terdapat data rusak di antara subjek
penelitian transseksual laki-laki dan perempuan. Individu-individu transseksual
yang telah menjalani gonadectomy mungkin tidak melanjutkan perawatan hormon
lintas-seks setelah operasi penegasan kelamin dan tahap terapi hormon sehingga
berada dalam risiko mengalami pengeroposan tulang.
Rekomendasi
Kami menyarankan agar individu-individu
transseksual MTF –yang belum mengetahui adanya peningkatan terkena risiko
kanker payudara- mengikuti petunjuk-petunjuk pemeriksaan payudara yang
direkomendasikan bagi para peerempuan genetik. Kami menyarankan kepada
individu-individu transseksual MTF yang menjalani perawatan dengan estrogen
untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.
FaktaKanker payudara merupakan kepedulian utama di kalangan transseksual perempuan. Telah
dilaporkan dalam literatur adanya sedikit kasus kanker payudara di antara
transseksual MTF (123–125). Dalam kelompok 1800 transseksual perempuan Belanda
yang dipantau selama rata-rata 15 tahun (dengan kurun waktu antara 1–30 tahun),
hanya ditemukan 1 (satu) kasus kanker payudara.
Penelitian yang dilakukan oleh Women’s
Health Initiative (= Inisiatif Kesehatan Perempuan) melaporkan bahwa para
perempuan yang menjalani pengobatan dengan estrogen “equine” terkonjugasi tanpa
progesteron selama 7 tahun tidak memiliki peningkatan risiko kanker payudara
sebagaimana mereka yang menggunakan placebo (126). Para perempuan dengan
hypogonadisme primer (berkromosom XO) yang dirawat dengan terapi sulih estrogen
menunjukkan penurunan secara signifikan untuk tidak terkena kanker payudara
sebagaimana dibandingkan dengan ratio yang sudah distandardisasikan secara
nasional (127, 128). Penelitian-penelitian ini memperlihatkan bahwa terapi
estrogen dalam jangka pendek (kurang dari 20–30 tahun) tidak meningkatkan
risiko kanker payudara. Namun dibutuhkan penelitian jangka panjang untuk
menentukan risiko actual dan peran dari pemindaian mammogram.
Pemeriksaan berkala serta advis
ginekologis harus merekomendasikan pemantauan kanker payudara. Kanker prostat
sangat jarang ditemukan –khususnya dengan dilakukannya terapi pencabutan
androgen- sebelum umur 40 (129). Kastrasi (pengebirian) pada masa kecil atau
masa remaja mengakibatkan kemunduran fungsi prostat dan kastrasi pada masa
dewasa membalikkan hyperthrophy prostat lunak (BPH = Benign Prostate
Hyperthrophy) (130).
Walaupun van Kesteren (131) melaporkan
bahwa terapi estrogen tidak menyebabkan hyperthrophy atau perubahan-perubahan
awal yang membahayakan bagi prostat individu-individu transseksual MTF, telah
dilaporkan adanya kasus-kasus BPH di antara transsseksual MTF yang dirawat
dengan estrogen selama 20–25 tahun (132, 133). 3 (tiga) kasus kanker prostat di
antara transseksual MTF telah dilaporkan. Meski demikian, perlu dicatat bahwa
individu-individu ini baru memulai terapi hormon lintas-seks setelah umur 50,
juga tidak diketahui apakah kanker mereka timbul sebelum atau setelah awal
terapi. Dapat dimengerti jika individu-individu transseksual MTF merasa enggan
dan tak nyaman untuk melakukan pemeriksaan prostat secara berkala.
Dokter-dokter ginekologi tidak dilatih
untuk melakukan screening prostat ataupun memantau pertumbuhan
prostat. Jadi, mungkin akan lebih masuk akal bagi individu MTF yang menjalani
transisi setelah usia 20 untuk melakukan screening setahun
sekali untuk pemeriksaan rektum secara digital setelah umur 50 dan menjalani
pemeriksaan PSA yang konsisten dengan Petunjuk Satuan Tugas Pelayanan
Pencegahan Amerika Serikat (137).
Rekomendasi
Kami menyarankan agar individu-individu
transseksual FTM mengevaluasi risiko dan manfaatnya termasuk saat mengambil
keputusan untuk menjalani operasi hysterectomy (pengangkatan rahim) dan
oophorectomy (pengangkatan indung telur) sebagai bagian dari operasi penegasan
kelamin. FaktaWalaupun aromatisasi testosteron ke estradiol di
dalam kasus individu-individu transseksual FTM telah disampaikan sebagai faktor
risiko kanker endometrium (138), namun ternyata tak ada laporan sama sekali
tentang terjadinya hal ini.
Ketika seorang FTM menjalani operasi
pengangkatan rahim, rahimnya kecil dan terjadi pengerutan endometrial (atropi)
(139, 140). Reseptor androgen telah dilaporkan meningkat di dalam ovarium
setelah penggunaan testosteron dalam jangka waktu lama, di mana mungkin itu
merupakan indikasi peningkatan risiko kanker indung telur (141). Kasus-kasus
kanker indung telur telah dilaporkan (142, 143). Hysterectomy total
laparoskopik yang relative aman sangat dianjurkan untuk mencegah risiko-risiko
kanker leher rahim dan penyakit-penyakit lain yang dapat timbul melalui operasi
(144).
Nilai dan Pilihan
Dengan ketidaknyamanan yang dialami
individu-individu transseksual FTM dalam menjalani perawatan ginekologi, kami
sangat merekomendasikan dilakukannya pengangkatan rahim dan indung telur secara
total demi menghilangkan risiko-risiko kanker dan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan saluran organ reproduksi perempuan; juga termasuk untuk
tidak menghindari risiko prosedur kedua operasi ini (yang berhubungan dengan
operasi serta potensi konsekuensi kesehatan yang tak diinginkan terkait operasi
pengangkatan indung telur) dan biaya operasi yang dibutuhkan.
Peringatan
Orientasi seksual dan jenis praktek seks
yang dilakukan pasien akan menentukan kebutuhan serta jenis perawatan
ginekologi yang diperlukan sejalan dengan transisinya. Sebagai tambahan,
disetujuinya perubahan status jenis kelamin dalam akte kelahiran dari individu
transseksual FTM mungkin juga bergantung pada operasi hysterectomy total yang
telah dijalani; setiap pasien harus didampingi mencari bantuan dan konsultasi
terkait criteria administrative non-medis.
Diterjemahkan oleh: Prabha Mahojjwala
Hak
Cipta Terjemahan: II/2012
Copyright
©II/23/2012
Sumber: Endocrin Treatment for Transsexual
Persons: An Endrocrin Society Clinical Practice Guideline. The Journal of Endocrinology and
Metabolism. (J Clin Endocrinol Metab 94: 3132–3154, 2009)
Catatan: Daftar Kepustakaan yang tertulis berupa
angka dalam kurung dapat dibaca/ditemukan langsung dalam The Journal of
Clinical Endocrinology and Metabolism, 94: 3132–3154, 2009 docrine Sciety Clinical
Practice
Tidak ada komentar:
Posting Komentar